Gonggo : Terima Kasih Telah Berkunjung

Minggu, 27 Februari 2011

Perjalanan gayo ku




Awal Meletusnya Perang Di Tanoh Gayo
26 Maret 1973
gerilya tentara gayo
Lebih kurang sekitar 27 tahun setelah meletusnya PerangAceh di kawasan pesisir Tanggal, 26 Maret 1873, atau tepatnya di awal tahun 1900-an, pasukan Belanda mulai menyusun strategi menyerbu Tanah Gayo.
Hal tersebut diilhami untuk meredam strategi gerilya jangka panjang yang diterapkan Kesultanan Aceh untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Dan, dari belantara hutan pegunungan Gayo itulah yang merupakan benteng terakhir pertahanan kerajaan Kesultanan Aceh. Ini awal meletusnya Perang Gayo.

Tahun 1902
Serangan Belanda Pertama Tahun 1902
Setelah hampir sebagian pesisir daerah Aceh di kuasai pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda mengintensifkan sasaran ke bagian pedalaman Aceh (Tanah Gayo), karena Daerah tersebut dijadikan tameng tempat berlindungnya para pejuang-pejuang Aceh yang terus bergerilya. Tanah Gayo merupakan wilayah yang paling akhir dimasuki Pasukan Belanda selama menjajah di nusantara ini.
Sejarah mencatat, bahwa pasukan Belanda telah 2 kali melakukan serangan secara besar–besaran ke Tanah Gayo. Pertama; Dalam tahun 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Coliju menyerang Tanah Gayo melalui kawasan Isaq tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem–Intem. Serangan ini mengalami kegagalan karena perlawanan yang sengit dan sulitnya medan yang dilalui.
Radio Rimba Raya
Tahun 1948–1949
tugu radio rimba raya
Rimba Raya yang terletak di Daerah Tanah Gayo atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian kabupaten Bener Meriah.
Rimba Raya ini pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948–1949 menjadi tempat pemancar radio. Dan dari sanalah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Signal Colling “Suara Radio Republik Indoneia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibukota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hiverson (miliki Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mengcansel berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
Tahun 1949
Perang Kemerdekaan
30 Juli 1949
Setelah berakhirnya pendudukan Jepang, di Daerah Tanah Gayo mulai aman dan kondisi keamanan cukup terkendali. Para serdadu Jepang sudah diberangkatkan ke luar daerah untuk dipulangkan ke negerinya.
Melihat situasi tanah Gayo itu, dari hari ke hari bertambah terkendali, dan diyakini sudah saatnya untuk membantu perjuangan keluar daerah.
Selama masa perang kemerdekaan, rakyat Gayo telah 15 kali mengirimkan gelombang mujahidin keluar daerah, untuk membantu saudara–saudaranya di Langkat, Sumatera Timur, Kota Bonjol dan sampai ke Bukit Tinggi Sumatera Barat, yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
pembantaian dilakukan belanda
Keberanian para mujahiddin dari Tanah Gayo itu tercatat dalam sejarah dalam menghadapi pertempuran. Puncak pertempuran yang paling dahsyat dan tercatat dengan tinta emas dalam arsip perjuangan rakyat Indonesia adalah pertempuran yang terjadi (30 Juli 1949) di Rajamerahe – Sukaramai – Kandi bata tanah Karo atau lebih dikenal dengan pertempuran ‘Sukaramai’, di bawah koordinator Pasukan Bagura Tgk Iiyas Lebe.
Dalam pertempuran tersebut beberapa Mujahiddin gugur sebagai syuhada, di antaranya Abu Bakar Aman Dimot. Beliau syahid setelah membunuh 10 orang pasukan Belanda. Dan kabarnya beliau gugur setelah sebuah granat diledakkan di dalam mulutnya (salah seorang Mujahiddin yang diajukan Pemerintah Aceh sebagai Pahlawan Nasional).
Tahun 1945
2 Mei 1945
Kekejaman Tentara Jepang selama menduduki Negeri Dingin ini (± 3,5 tahun), lebih menyakitkan daripada masa penjajahan Hindia Belanda (± 350 tahun). Adanya kerja paksa pembangunan jalan Takengon – Blangkejeren, Takengon – Bireuen dan lain sebagainya.
Melihat penderitaan rakyat yang telah mencapai puncaknya. Pejuang Muslimin Gayo yang berpusat di Tedet kemukiman Samarkilang, di bawah pimpinan Tengku Pang Akob, menyerang pos dan tangsi tentara Jepang, pada tanggal 2 Mei 1945. Puluhan tentara Jepang tewas secara mengganaskan.
Di balik penderitaan pada masa pendudukan Jepang, ada beberapa hal yang dipandang positif, salah satunya adalah memaksa rakyat Gayo untuk meningkatkan kemampuan militer dan keterampilan menenun pakaian.
Tahun 2010
Kopi Gayo Peroleh Sertifikat Indikasi Geografis
27 Mei 2010
Produk kopi “Tanoh Gayo” Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh memperoleh sertifikat indikasi geografis yang akan diserahkan Menteri hukum dan HAM, Patralis Akbar.
“Dengan perolehan sertifikat indikasi geografis itu, tentunya sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat, khususnya petani untuk meningkatkan produksinya dimasa mendatang,” kata Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, yang dihubungi dari Banda Aceh, Rabu.
Didampingi Kabag Humas Pemkab Aceh Tengah, Windi Darsa, disebutkan sertifikat indikasi geografis tersebut akan diserahkan Menkum dan HAM kepada Pemerintah Aceh Tengah pada 27 Mei 2010 di Jakarta.
“Penyerahan sertifikat tersebut bersamaan dengan peringatan Hak Karya Intelektual (HKI) ke-10. Itu merupakan sebuah penghargaan kepada masyarakat di `Tanah Gayo` khususnya petani yang selama ini tekun mengurusi kebunnya,” katanya menambahkan.
Kabupaten Aceh Tengah, sekitar 320 kilometer dari Kota Banda Aceh itu merupakan salah satu daerah sentra produksi kopi terbesar di provinsi tersebut. Produksi kopi masyarakat dataran tinggi Gayo sudah diekspor ke sejumlah negara di dunia.
Aceh Tengah terdapat 46 ribu hektare kebun kopi dengan jumlah produksi rata-rata 725 ton/hektare pertahun. Tercatat sebanyak 33 ribu dari sekitar 200 ribu penduduk Aceh Tengah mengantungkan hidup pada hasil perkebunan kopi.
Selama ini, kata bupati, komoditas ekspor kopi asal Aceh Tengah dikirim ke sejumlah negara di dunia dengan menggunakan nama (label) dari Belanda.
“Karena itu, Pemerintah Aceh Tengah dan lembaga lainnya seperti forum kopi Aceh terus memperjuangkan untuk memperoleh sertifikasi indikasi geografis. Alhamdulillah perjuangan itu kini membuahkan hasil,” kata Nasaruddin.
Melalui inovasi, kreasi dan produk indikasi geografis itu maka diharapkan menjadi modal masyarakat menghadapi perdagangan bebas Asean (Cina).
“Kita berusaha indikasi sertifikasi ini menjadi produk unggulan bangsa Indonesia,” kata Menkum dan HAM, Patralis Akbar seperti dikutip bupati Aceh Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar